Total Tayangan Halaman

Selasa, 17 Januari 2012


                                                BAB II
PENJELASAN
2.1 Taman Nasional Gunung Halimun

Mount Halimun Salak NP
Letak di Jawa
Letak
Kota terdekat
Koordinat
Luas
1.133,57 km²
Pihak pengelola
Kementrian Kehutanan
Taman Nasional Gunung Halimun - Salak (TNGHS) adalah salah satu taman nasional yang terletak di Jawa bagian barat. Kawasan konservasi dengan luas 113.357 hektare ini menjadi penting karena melindungi hutan hujan dataran rendah yang terluas di daerah ini, dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di sekelilingnya. Melingkup wilayah yang bergunung-gunung, dua puncaknya yang tertinggi adalah Gunung Halimun (1.929 m) dan Gunung Salak (2.211 m). Keanekaragaman hayati yang dikandungnya termasuk yang paling tinggi, dengan keberadaan beberapa jenis fauna penting yang dilindungi di sini seperti elang jawa, macan tutul jawa, owa jawa, surili dan lain-lain. Kawasan TNGHS dan sekitarnya juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, antara lain masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan masyarakat Baduy.

1.2 Sejarah kawasan
Wilayah Gunung Halimun telah ditetapkan menjadi hutan lindung semenjak tahun 1924, luasnya ketika itu 39.941 ha. Kemudian pada 1935 kawasan hutan ini diubah statusnya menjadi Cagar Alam Gunung Halimun. Status cagar alam ini bertahan hingga tahun 1992, ketika kawasan ini ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas 40.000 ha, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992. Sampai dengan lima tahun kemudian, taman nasional yang baru ini pengelolaannya ‘dititipkan’ kepada Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango yang wilayahnya berdekatan. Baru kemudian pada 23 Maret 1997, taman nasional ini memiliki unit pengelolaan yang tersendiri sebagai Balai Taman Nasional Gunung Halimun.
Pada tahun 2003 atas dasar SK Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, kawasan hutan BTN Gunung Halimun diperluas, ditambah dengan kawasan hutan-hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan beberapa bidang hutan lain di sekelilingnya, yang semula merupakan kawasan hutan di bawah pengelolaan Perum Perhutani. Sebagian besar wilayah yang baru ini, termasuk kawasan hutan G. Salak di dalamnya, sebelumnya berstatus hutan lindung. Namun kekhawatiran atas masa depan hutan-hutan ini, yang terus mengalami tekanan kegiatan masyarakat dan pembangunan di sekitarnya, serta harapan berbagai pihak untuk menyelamatkan fungsi dan kekayaan ekologi wilayah ini, telah mendorong diterbitkannya SK tersebut. Dengan ini, maka kini namanya berganti menjadi Balai Taman Nasional Gunung Halimun – Salak, dan luasnya bertambah menjadi 113.357 ha.

2.3 Letak dan keadaan fisik
Secara administratif, kawasan konservasi TN Gunung Halimun – Salak termasuk ke dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, dan Lebak di Propinsi Banten. Topografi wilayah ini berbukit-bukit dan bergunung-gunung, pada kisaran ketinggian antara 500–2.211 m dpl. Puncak-puncaknya di antaranya adalah G. Halimun Utara (1.929 m), G. Ciawitali (1.530 m), G. Kencana (1.831 m), G. Botol (1.850 m), G. Sanggabuana (1.920 m), G. Kendeng Selatan (1.680 m), G. Halimun Selatan (1.758 m), G. Endut (timur) (1.471 m), G. Sumbul (1.926 m), dan G. Salak (puncak 1 dengan ketinggian 2.211 m, dan puncak 2 setinggi 2.180 m).[1] Jajaran puncak gunung ini acapkali diselimuti kabut (Sd. halimun), maka dinamai demikian.
Wilayah ini merupakan daerah tangkapan air yang penting di sebelah barat Jawa Barat. Tercatat lebih dari 115 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan Taman Nasional. Tiga sungai besar mengalir ke utara, ke Laut Jawa, yakni Ci Kaniki dan Ci Durian (yang bergabung dalam DAS Ci Sadane), serta Ci Berang, bagian dari DAS Ci Ujung. Sementara terdapat 9 daerah aliran sungai penting yang mengalir ke Samudera Hindia di selatan, termasuk di antaranya Cimandiri (Citarik, Cicatih), Citepus, Cimaja, dan Cisolok. Sungai-sungai ini mengalir melintasi wilayah Bogor, Tangerang, Rangkasbitung, Bayah dan Palabuhanratu.[1]
Kawasan TN Gunung Halimun – Salak memang merupakan daerah yang basah. Curah hujan tahunannya berkisar antara 4.000 – 6.000 mm, dengan bulan kering kurang dari 3 bulan di antara Mei hingga September. Iklim ini digolongkan ke dalam tipe A hingga B menurut klasifikasi curah hujan Schmidt dan Ferguson. Suhu bulanannya berkisar antara 19,7 – 31,8 °C, dan kelembaban udara rata-rata 88%.



2.4 FLORA DAN FAUNA                                
a.       FAUNA
 
Kongkang jeram, Huia masonii; salah satu jenis katak yang ada di G. Halimun
Kekayaan hayati kawasan taman nasional ini telah lama menarik perhatian para peneliti, dalam dan luar negeri. Banyak catatan telah dibuat, terutama setelah status kawasan ditingkatkan menjadi taman nasional, dan banyak pula yang telah diterbitkan, khususnya semasa masih bernama TN Gunung Halimun. Informasi berikut ini masih merujuk pada hasil-hasil penelitian di TN Gunung Halimun tersebut, terkecuali apabila disebutkan lain.
Fauna

Elang jawa, Spizaetus bartelsi

Ajag, Cuon alpinus
Hutan-hutan primer dan pelbagai kondisi habitat lainnya menyediakan tempat hidup bagi aneka jenis margasatwa di TN Gunung Halimun – Salak. Tidak kurang dari 244 spesies burung, 27 spesies di antaranya adalah jenis endemik Pulau Jawa yang memiliki daerah sebaran terbatas. Dari antaranya terdapat 23 spesies burung migran.[9] Wilayah ini juga telah ditetapkan oleh BirdLife, organisasi internasional pelestari burung, sebagai daerah burung penting (IBA, important bird areas) dengan nomor ID075 (Gunung Salak) dan ID076 (Gunung Halimun). Wilayah-wilayah ini terutama penting untuk menyelamatkan jenis-jenis elang jawa (Spizaetus bartelsi), luntur jawa (Apalharpactes reinwardtii), ciung-mungkal jawa (Cochoa azurea), celepuk jawa (Otus angelinae), dan gelatik jawa (Padda oryzivora).[10]
Catatan sementara herpetofauna di taman nasional ini mendapatkan sejumlah 16 spesies kodok, 12 spesies kadal dan 9 spesies ular]. Daftar ini kemudian masing-masing bertambah dengan 10, 8, dan 10 spesies, berturut-turut untuk jenis-jenis kodok, kadal dan ular. Namun demikian, daftar ini belum lagi mencakup jenis-jenis biawak dan kura-kura yang hidup di sini.
Mamalia terdaftar sebanyak 61 spesies. Di antaranya termasuk jenis-jenis langka seperti macan tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), dan juga ajag (Cuon alpi


b.      FLORA

Tutupan hutan di taman nasional ini dapat digolongkan atas 3 zona vegetasi[3]:
Keanekaragamannya cenderung berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Dua petak coba permanen, masing-masing seluas 1 ha, di zona submontana ditumbuhi 116 dan 105 spesies pohon. Sementara satu plot lagi dengan luas yang sama di zona montana didapati hanya berisi 46 spesies pohon.
Catatan sementara mendapatkan lebih dari 500 spesies tumbuhan, yang tergolong ke dalam 266 genera dan 93 suku, hidup di kawasan konservasi ini[4]. Hasil ini diduga masih jauh di bawah angka yang sesungguhnya, mengingat bahwa TN Gede Pangrango yang berdekatan dan mirip kondisinya, namun luasnya kurang dari sepertujuh TNGHS, tercatat memiliki 844 spesies tumbuhan berbunga[5]. Apalagi penelitian di atas belum mencakup wilayah-wilayah yang ditambahkan semenjak 2003.
Penelitian pada zona perbukitan di wilayah Citorek mendapatkan 91 spesies pohon, dari 70 marga dan 36 suku. Suku yang dominan adalah Fagaceae, yang diwakili oleh 10 spesies dan 144 (dari total 519) individu pohon; diikuti oleh Lauraceae, yang diwakili oleh 9 spesies dan 26 individu pohon. Jenis-jenis yang memiliki nilai penting tertinggi, berturut-turut adalah ki riung anak atau ringkasnya ki anak (Castanopsis acuminatissima), pasang parengpeng (Quercus oidocarpa), puspa (Schima wallichii), saketi (Eurya acuminata), dan rasamala (Altingia excelsa). Jenis-jenis tersebut selanjutnya membentuk tiga tipe komunitas hutan yang terbedakan di lapangan, yakni tipe Castanopsis acuminatissima – Quercus oidocarpa; Schima wallichii – Castanopsis acuminatissima, dan Schima wallichii – Eurya acuminata.[6]
Dua plot permanen yang dibuat pada hutan submontana di ketinggian 1.100 m dpl., yakni dekat Stasiun Riset Cikaniki dan di gigir utara G. Kendeng, berturut-turut didominasi oleh rasamala (A. excelsa) dan ki anak (C. acuminatissima). Sedangkan plot permanen pada hutan montana di bawah puncak G. Botol pada elevasi 1.700 m dpl, didominasi oleh pasang Quercus lineata.[7] Hutan montana di atas 1.500 m dpl. umumnya dikuasai oleh jenis-jenis Podocarpaceae, seperti jamuju (Dacrycarpus imbricatus), ki bima (Podocarpus blumei) dan ki putri (P. neriifolius).[1]
Di taman nasional ini juga didapati sekurang-kurangnya 156 spesies anggrek; diyakini jumlah ini masih jauh di bawah angka sebenarnya apabila dibandingkan dengan kekayaan anggrek Jawa Barat yang tidak kurang dari 642 spesies.
2.5 Ancaman dan tantangan pengelolaan
 dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang mengelilingi kawasan taman nasional ini menjadi lebih panjang. Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi di dalamnya terdapat beberapa enklave berupa perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktifitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata. Termasuk pula pemukiman-pemukiman masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul.
Banyak para petani tradisional maupun pendatang sudah tinggal di wilayah ini sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai areal konservasi. Sehingga menjadi tantangan pengelola, para pihak dan masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan.
                                                                                                                                    
1.6  ETNIK DAN MATA PENCAHARIAN
           
Jumlah penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara historis penyebaranya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan.
                            
Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.
Untuk mencapai desa-desa tersebut dengan kendaraan umum, baik dari Jakarta atau Bogor, dibutuhkan waktu empat hingga delapan jam. Kadangkadang kita harus berjalan kaki satu atau dua jam karena kondisi jalan masih berbatu kasar.
Semangat bergotong royong masih sangat kuat di beberapa wilayah termasuk pada sistem bertani mereka. Sudah biasa masyarakat bekerjasama dalam keluarga dan tetangga apabila tenaga kerja, komoditas / bahan-bahan pertanian dan makanan tidak mencukupi.
Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren taun.
Pengetahuan dan penggunaan jenis-jenis padi lokal menunjukkan pentingnya beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Siklus penanaman secara tradisional adalah sebagai berikut: Setelah menebang hutan primer, hutan sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan huma atau ladang selama beberapa tahun. Di dataran tinggi padi ditanam sebagaimana halnya sayur-sayuran seperti : jagung, singkong ataupun kacangkacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayur-sayuran beberapa kali dalam setahun. Setelah panen, tergantung pada kondisi tanah, masyarakat memutuskan apakan berladang lagi atau tidak. Keputusan mereka berdasarkan pada kondisi kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah. Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Dengan demikian ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus. Dan apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak diubah menjadi jami (tanaman sekunder) untuk satu atau dua tahun. Di lahan ini padi tidak ditanam sama sekali, melainkan tanaman menahun (tanaman tahunan) yang ditanam. Setelah lahan digunakan ‘jami’, ada dua alternatif yang akan dipakai, pertama adalah meninggalkan lahan tanpa dipotong atau dibersihkan. Semak dibiarkan selama 3 - 4 tahun yang disebut ‘reuma ngora’ (semak belukar). Sedangkan semak yang dibiarkan selama lebih dari 4 tahun disebut ‘reuma kolot’ (hutan sekunder).
Pembagian ini berdasarkan pada tahapan suksesi tumbuhan. Setelah itu, lahan tertutup secara alami menjadi hutan sekunder dengan pepohonan tinggi. Jadi siklus penggunaan hutan pun telah berakhir. Cara atau alternatif yang kedua adalah menggunakan lahan untuk kebun, yaitu setelah jami dipanen. Di kebun ini tanaman menahun ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Buah-buahan seperti pisang, durian, anakan pohon alami dan pohon-pohon yang pertumbuhannya cepat yang digunakan untuk konstruksi rumah serta tanaman berguna seperti bambu dan rotan juga ditanam untuk kebutuhan sehari-hari.

Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohonpohon yang ditanam menjadi tinggi dan kebun ini disebut juga kebun talun. Pada lapisan bawah dari kebun talun, terus ditanami tanaman menahun. Dengan adanya suksesi pohon-pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut talun. Pada tahap ini hanya ada beberapa tanaman menahun, karena di bagian bawah menjadi gelap. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang dan durian, juga menyadap air nira darpohonkawung(aren).
BAB III : PENUTUP
            3.1 Kesimpulan
                        Taman Nasional Gunung Halimun - Salak adalah salah satu taman nasional yang terletak di Jawa bagian barat dengan luas 113.357 hektare. Kawasan TNGHS dan sekitarnya juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, antara lain masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan masyarakat Baduy. Wilayah Gunung Halimun telah ditetapkan menjadi hutan lindung semenjak tahun 1924,Kemudian pada 1935 kawasan hutan ini diubah statusnya menjadi Cagar Alam Gunung Halimun.Dan akhirnya kawasan ini ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas 40.000 ha. Secara administratif, kawasan konservasi TN Gunung Halimun – Salak termasuk ke dalam wilayah tiga kabupaten, yakni Kabupaten Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, dan Lebak di Propinsi Banten. dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi di dalamnya terdapat beberapa enklave berupa perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktifitas pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata.
            3.2 saran
            Taman nasional halimun salak merupakan objek wisata yang memiliki banyak potensi  untuk di kembangkan,terbukti dengan letaknya yang strategis,terdapatnya masarakat pedalaman yang unik yankni masarakat baduy yang memiliki cirri khas tersendiri dan didalamnya terdapat beragam jenis species flora dan fauna yang menjadi daya tarik tersendiri bagi taman nasional ini,namun seperti yang kita ketahui bahwa taman nasional ini mengalami kendala dalam hal pengelolaan.
            Saran kami taman nasional ini hendaknya dikelola oleh orang-orang yang memiliki pengalaman dalam bidang ini,baik mengenai strategi pemasaran maupun kejelian dalam memilih sarana untuk mempromosikan taman nasional ini,sehingga mampu mencapai hasil yang di targetkan.         








DAFTAR PUSTAKA
1. sumber informasi : google



Tidak ada komentar:

Posting Komentar