BAB II
PENJELASAN
2.1 Taman Nasional Gunung Halimun
Mount
Halimun Salak NP
Letak
di Jawa
|
|
Letak
|
|
Kota
terdekat
|
|
Koordinat
|
|
Luas
|
1.133,57
km²
|
Pihak
pengelola
|
Kementrian
Kehutanan
|
Taman Nasional
Gunung Halimun - Salak (TNGHS) adalah salah satu taman nasional yang terletak
di Jawa bagian barat.
Kawasan konservasi dengan luas 113.357 hektare ini menjadi penting karena
melindungi hutan hujan dataran rendah yang terluas
di daerah ini, dan sebagai wilayah tangkapan air bagi kabupaten-kabupaten di
sekelilingnya. Melingkup wilayah yang bergunung-gunung, dua puncaknya yang
tertinggi adalah Gunung
Halimun (1.929 m) dan Gunung Salak (2.211 m). Keanekaragaman hayati yang
dikandungnya termasuk yang paling tinggi, dengan keberadaan beberapa jenis
fauna penting yang dilindungi di sini seperti elang jawa, macan tutul jawa, owa jawa, surili dan lain-lain.
Kawasan TNGHS dan sekitarnya juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, antara lain
masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan masyarakat Baduy.
1.2 Sejarah kawasan
Wilayah Gunung
Halimun telah ditetapkan menjadi hutan lindung semenjak tahun
1924, luasnya ketika itu 39.941 ha. Kemudian pada 1935 kawasan hutan ini diubah
statusnya menjadi Cagar Alam Gunung Halimun. Status cagar alam ini bertahan
hingga tahun 1992, ketika kawasan ini ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung
Halimun dengan luas 40.000 ha, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan
No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Februari 1992. Sampai dengan lima tahun
kemudian, taman nasional yang baru ini pengelolaannya ‘dititipkan’ kepada Taman Nasional Gunung Gede – Pangrango yang
wilayahnya berdekatan. Baru kemudian pada 23 Maret 1997, taman nasional ini
memiliki unit pengelolaan yang tersendiri sebagai Balai Taman Nasional Gunung Halimun.
Pada tahun 2003 atas dasar SK Menteri
Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, kawasan hutan BTN Gunung Halimun diperluas,
ditambah dengan kawasan hutan-hutan Gunung Salak, Gunung Endut dan beberapa
bidang hutan lain di sekelilingnya, yang semula merupakan kawasan hutan di
bawah pengelolaan Perum
Perhutani. Sebagian besar wilayah yang baru ini, termasuk kawasan
hutan G. Salak di dalamnya, sebelumnya berstatus hutan lindung. Namun
kekhawatiran atas masa depan hutan-hutan ini, yang terus mengalami tekanan
kegiatan masyarakat dan pembangunan di sekitarnya, serta harapan berbagai pihak
untuk menyelamatkan fungsi dan kekayaan ekologi wilayah ini, telah mendorong
diterbitkannya SK tersebut. Dengan ini, maka kini namanya berganti menjadi
Balai Taman Nasional Gunung Halimun – Salak, dan luasnya bertambah menjadi
113.357 ha.
2.3 Letak dan
keadaan fisik
Secara
administratif, kawasan
konservasi TN Gunung Halimun – Salak termasuk ke dalam wilayah tiga
kabupaten, yakni Kabupaten
Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, dan Lebak di Propinsi Banten. Topografi wilayah ini
berbukit-bukit dan bergunung-gunung, pada kisaran ketinggian antara 500–2.211 m
dpl. Puncak-puncaknya di antaranya adalah G. Halimun Utara (1.929 m), G.
Ciawitali (1.530 m), G. Kencana (1.831 m), G. Botol (1.850 m), G. Sanggabuana
(1.920 m), G. Kendeng Selatan (1.680 m), G. Halimun Selatan (1.758 m), G. Endut
(timur) (1.471 m), G. Sumbul (1.926 m), dan G. Salak (puncak 1 dengan
ketinggian 2.211 m, dan puncak 2 setinggi 2.180 m).[1] Jajaran puncak
gunung ini acapkali diselimuti kabut (Sd. halimun), maka dinamai demikian.
Wilayah ini merupakan daerah tangkapan
air yang penting di sebelah barat Jawa Barat. Tercatat lebih dari 115 sungai
dan anak sungai yang berhulu di kawasan Taman Nasional. Tiga sungai besar
mengalir ke utara, ke Laut
Jawa, yakni Ci Kaniki dan Ci Durian (yang bergabung dalam DAS Ci Sadane), serta Ci
Berang, bagian dari DAS Ci Ujung. Sementara terdapat 9 daerah aliran sungai
penting yang mengalir ke Samudera Hindia di selatan,
termasuk di antaranya Cimandiri (Citarik, Cicatih), Citepus, Cimaja, dan
Cisolok. Sungai-sungai ini mengalir melintasi wilayah Bogor, Tangerang, Rangkasbitung, Bayah dan Palabuhanratu.[1]
Kawasan TN Gunung Halimun – Salak
memang merupakan daerah yang basah. Curah hujan tahunannya berkisar antara
4.000 – 6.000 mm, dengan bulan kering kurang dari 3 bulan di antara Mei hingga
September. Iklim ini digolongkan ke dalam tipe A hingga B menurut klasifikasi
curah hujan Schmidt dan Ferguson. Suhu
bulanannya berkisar antara 19,7 – 31,8 °C, dan kelembaban udara rata-rata
88%.
2.4 FLORA
DAN FAUNA
a.
FAUNA
Kongkang
jeram, Huia masonii; salah satu jenis katak yang ada di
G. Halimun
Kekayaan hayati kawasan taman nasional
ini telah lama menarik perhatian para peneliti, dalam dan luar negeri. Banyak
catatan telah dibuat, terutama setelah status kawasan ditingkatkan menjadi
taman nasional, dan banyak pula yang telah diterbitkan, khususnya semasa masih
bernama TN Gunung Halimun. Informasi berikut ini masih merujuk pada hasil-hasil
penelitian di TN Gunung Halimun tersebut, terkecuali apabila disebutkan lain.
Fauna
Elang
jawa, Spizaetus bartelsi
Ajag, Cuon
alpinus
Hutan-hutan primer dan pelbagai
kondisi habitat lainnya menyediakan tempat hidup bagi aneka jenis margasatwa di
TN Gunung Halimun – Salak. Tidak kurang dari 244 spesies burung, 27 spesies di
antaranya adalah jenis endemik Pulau Jawa
yang memiliki daerah sebaran terbatas. Dari antaranya terdapat 23 spesies
burung migran.[9] Wilayah ini
juga telah ditetapkan oleh BirdLife, organisasi internasional pelestari
burung, sebagai daerah burung penting (IBA, important bird areas) dengan
nomor ID075 (Gunung Salak) dan ID076 (Gunung Halimun). Wilayah-wilayah ini
terutama penting untuk menyelamatkan jenis-jenis elang jawa (Spizaetus
bartelsi), luntur
jawa (Apalharpactes reinwardtii), ciung-mungkal
jawa (Cochoa azurea), celepuk jawa (Otus angelinae), dan gelatik jawa (Padda
oryzivora).[10]
Catatan sementara herpetofauna di taman
nasional ini mendapatkan sejumlah 16 spesies kodok, 12 spesies kadal dan 9 spesies ular]. Daftar ini
kemudian masing-masing bertambah dengan 10, 8, dan 10 spesies, berturut-turut
untuk jenis-jenis kodok, kadal dan ular. Namun demikian, daftar ini belum lagi
mencakup jenis-jenis biawak dan kura-kura yang hidup di
sini.
Mamalia
terdaftar sebanyak 61 spesies. Di antaranya termasuk jenis-jenis langka seperti
macan
tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa (Hylobates
moloch), surili (Presbytis
aygula), lutung
budeng (Trachypithecus auratus), dan juga ajag (Cuon alpi
- Zona perbukitan (colline) hutan dataran rendah, yang didapati hingga ketinggian 900 – 1.150 m dpl.
- Zona hutan pegunungan bawah (submontane forest), antara 1.050 – 1.400 m dpl; dan
- Zona hutan pegunungan atas (montane forest), di atas elevasi 1.500 m dpl.
Keanekaragamannya cenderung berkurang
dengan bertambahnya ketinggian. Dua petak coba permanen, masing-masing seluas 1
ha, di zona submontana ditumbuhi 116 dan 105 spesies pohon.
Sementara satu plot lagi dengan luas yang sama di zona montana didapati hanya
berisi 46 spesies pohon.
Catatan sementara mendapatkan lebih
dari 500 spesies tumbuhan, yang
tergolong ke dalam 266 genera dan 93 suku, hidup di
kawasan konservasi ini[4]. Hasil ini
diduga masih jauh di bawah angka yang sesungguhnya, mengingat bahwa TN Gede Pangrango yang
berdekatan dan mirip kondisinya, namun luasnya kurang dari sepertujuh TNGHS,
tercatat memiliki 844 spesies tumbuhan berbunga[5]. Apalagi
penelitian di atas belum mencakup wilayah-wilayah yang ditambahkan semenjak
2003.
Penelitian pada
zona perbukitan di wilayah Citorek mendapatkan 91 spesies pohon, dari 70 marga dan 36 suku.
Suku yang dominan adalah Fagaceae, yang diwakili
oleh 10 spesies dan 144 (dari total 519) individu pohon; diikuti oleh Lauraceae, yang diwakili
oleh 9 spesies dan 26 individu pohon. Jenis-jenis yang memiliki nilai penting
tertinggi, berturut-turut adalah ki riung anak atau
ringkasnya ki anak (Castanopsis acuminatissima), pasang parengpeng (Quercus
oidocarpa), puspa (Schima wallichii),
saketi (Eurya acuminata), dan rasamala (Altingia
excelsa). Jenis-jenis tersebut selanjutnya membentuk tiga tipe komunitas
hutan yang terbedakan di lapangan, yakni tipe Castanopsis acuminatissima –
Quercus oidocarpa; Schima wallichii – Castanopsis acuminatissima,
dan Schima wallichii – Eurya acuminata.[6]
Dua plot
permanen yang dibuat pada hutan submontana di ketinggian 1.100 m dpl., yakni
dekat Stasiun Riset Cikaniki dan di gigir utara G. Kendeng, berturut-turut didominasi
oleh rasamala (A. excelsa) dan ki anak (C. acuminatissima).
Sedangkan plot permanen pada hutan montana di bawah puncak G. Botol pada
elevasi 1.700 m dpl, didominasi oleh pasang Quercus lineata.[7] Hutan montana
di atas 1.500 m dpl. umumnya dikuasai oleh jenis-jenis Podocarpaceae, seperti jamuju (Dacrycarpus
imbricatus), ki bima (Podocarpus blumei) dan ki putri (P.
neriifolius).[1]
Di taman nasional ini juga didapati
sekurang-kurangnya 156 spesies anggrek; diyakini jumlah
ini masih jauh di bawah angka sebenarnya apabila dibandingkan dengan kekayaan
anggrek Jawa Barat yang tidak kurang dari 642 spesies.
2.5 Ancaman dan tantangan pengelolaan
dari bentuk kawasannya, Taman Nasional Gunung
Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau jemari, sehingga batas yang
mengelilingi kawasan taman nasional ini menjadi lebih panjang. Pengelolaan
kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan pengelolaan kawasan yang
berbentuk relatif bulat. Apalagi di dalamnya terdapat beberapa enklave berupa
perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktifitas
pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata.
Termasuk pula pemukiman-pemukiman masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul.
Banyak para petani tradisional maupun
pendatang sudah tinggal di wilayah ini sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai
areal konservasi. Sehingga menjadi tantangan pengelola, para pihak dan
masyarakat lokal dalam mengembangkan model pengelolaan kawasan TNGHS yang lebih
kolaboratif dan berkelanjutan.
1.6 ETNIK DAN MATA PENCAHARIAN
Jumlah
penduduk di dalam dan sekitar kawasan TNGHS lebih dari 250.000 jiwa. Masyarakat
lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok
masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara
historis penyebaranya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya,
Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan
masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur
organisasi pemerintahan.
Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.
Untuk mencapai desa-desa tersebut dengan kendaraan umum, baik dari Jakarta atau Bogor, dibutuhkan waktu empat hingga delapan jam. Kadangkadang kita harus berjalan kaki satu atau dua jam karena kondisi jalan masih berbatu kasar.
Semangat bergotong royong masih sangat kuat di beberapa
wilayah termasuk pada sistem bertani mereka. Sudah biasa masyarakat bekerjasama
dalam keluarga dan tetangga apabila tenaga kerja, komoditas / bahan-bahan
pertanian dan makanan tidak mencukupi.
Kehidupan sehari-hari masyarakat bergantung pada sistem
pertanian tradisional. Masyarakat umumnya memanfaatkan hutan dan lahan dalam
berbagai cara, yaitu seperti huma atau ladang, sawah, kebun, kebun talun dan
talun. Adapun hasil utama pertanian masyarakat kasepuhan adalah padi lokal dan
biasanya sebagai rasa syukur setiap selesai panen dilakukan pesta panen seren
taun.
Pengetahuan dan penggunaan jenis-jenis padi lokal menunjukkan
pentingnya beras sebagai bahan makanan pokok sehari-hari. Siklus penanaman
secara tradisional adalah sebagai berikut: Setelah menebang hutan primer, hutan
sekunder atau semak, lahan yang telah dibersihkan tersebut kemudian dijadikan
huma atau ladang selama beberapa tahun. Di dataran tinggi padi ditanam
sebagaimana halnya sayur-sayuran seperti : jagung, singkong ataupun
kacangkacangan. Padi dipanen satu kali dalam setahun dan sayur-sayuran beberapa
kali dalam setahun. Setelah panen, tergantung pada kondisi tanah, masyarakat
memutuskan apakan berladang lagi atau tidak. Keputusan mereka berdasarkan pada
kondisi kandungan air dalam lahan tersebut yang tergenang di atas tanah.
Apabila air mencukupi maka mereka mengubah lahan tersebut menjadi sawah. Dengan
demikian ekosistem alami menjadi hilang, karena sawah digarap terus menerus.
Dan apabila air tidak mencukupi, maka lahan akan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak diubah menjadi jami (tanaman sekunder) untuk satu atau dua tahun.
Di lahan ini padi tidak ditanam sama sekali, melainkan tanaman menahun (tanaman
tahunan) yang ditanam. Setelah lahan digunakan ‘jami’, ada dua alternatif yang
akan dipakai, pertama adalah meninggalkan lahan tanpa dipotong atau
dibersihkan. Semak dibiarkan selama 3 - 4 tahun yang disebut ‘reuma ngora’
(semak belukar). Sedangkan semak yang dibiarkan selama lebih dari 4 tahun
disebut ‘reuma kolot’ (hutan sekunder).
Pembagian ini berdasarkan pada tahapan suksesi tumbuhan.
Setelah itu, lahan tertutup secara alami menjadi hutan sekunder dengan pepohonan
tinggi. Jadi siklus penggunaan hutan pun telah berakhir. Cara atau alternatif
yang kedua adalah menggunakan lahan untuk kebun, yaitu setelah jami dipanen. Di
kebun ini tanaman menahun ditanam untuk kebutuhan sehari-hari. Buah-buahan
seperti pisang, durian, anakan pohon alami dan pohon-pohon yang pertumbuhannya
cepat yang digunakan untuk konstruksi rumah serta tanaman berguna seperti bambu
dan rotan juga ditanam untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah lahan digunakan untuk berkebun selama beberapa tahun, maka pohonpohon yang ditanam menjadi tinggi dan kebun ini disebut juga kebun talun. Pada lapisan bawah dari kebun talun, terus ditanami tanaman menahun. Dengan adanya suksesi pohon-pohon tersebut, kanopi pohon menjadi tertutup dan keadaan ini disebut talun. Pada tahap ini hanya ada beberapa tanaman menahun, karena di bagian bawah menjadi gelap. Masyarakat biasanya menanam buah-buahan seperti pisang dan durian, juga menyadap air nira darpohonkawung(aren).
BAB
III : PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Taman Nasional
Gunung Halimun - Salak adalah salah
satu taman
nasional yang terletak
di Jawa bagian barat
dengan luas 113.357 hektare. Kawasan TNGHS
dan sekitarnya juga merupakan tempat tinggal beberapa kelompok masyarakat adat, antara lain
masyarakat adat Kasepuhan Banten Kidul dan masyarakat Baduy. Wilayah
Gunung Halimun telah ditetapkan menjadi hutan lindung semenjak tahun
1924,Kemudian pada
1935 kawasan hutan ini diubah statusnya menjadi Cagar Alam Gunung Halimun.Dan akhirnya kawasan ini
ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun dengan luas 40.000 ha. Secara
administratif, kawasan
konservasi TN Gunung Halimun – Salak termasuk ke dalam wilayah tiga
kabupaten, yakni Kabupaten
Bogor dan Sukabumi di Jawa Barat, dan Lebak di Propinsi Banten. dari bentuk
kawasannya, Taman Nasional Gunung Halimun Salak berbentuk seperti bintang atau
jemari, Pengelolaan kawasan seperti ini lebih sulit dibandingkan dengan
pengelolaan kawasan yang berbentuk relatif bulat. Apalagi di dalamnya terdapat
beberapa enklave berupa
perkebunan, pemukiman masyarakat tradisional serta beberapa aktifitas
pertambangan emas, pembangkit energi listrik panas bumi dan pariwisata.
3.2
saran
Taman nasional halimun salak merupakan objek wisata yang
memiliki banyak potensi untuk di
kembangkan,terbukti dengan letaknya yang strategis,terdapatnya masarakat
pedalaman yang unik yankni masarakat baduy yang memiliki cirri khas tersendiri
dan didalamnya terdapat beragam jenis species flora dan fauna yang menjadi daya
tarik tersendiri bagi taman nasional ini,namun seperti yang kita ketahui bahwa
taman nasional ini mengalami kendala dalam hal pengelolaan.
Saran
kami taman nasional ini hendaknya dikelola oleh orang-orang yang memiliki
pengalaman dalam bidang ini,baik mengenai strategi pemasaran maupun kejelian
dalam memilih sarana untuk mempromosikan taman nasional ini,sehingga mampu
mencapai hasil yang di targetkan.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
sumber informasi : google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar